Sebut saja namaku Agus, seorang yang haus ilmu agama untuk pencerahan jiwa. Aku kuliah di salah satu perguruan tinggi Islam, dari situ aku berkenalan dengan seorang teman yang menjelaskan kepadaku tentang Al-Qur’an. Dari masjid kampus aku mengenalnya, Heru namanya, pembawaannya sangat kharismatik, cara bicaranya mampu mempengaruhi orang. Ia membawaku pada pemahaman baru tentang Al-Qur’an. Lebih lanjut ia mengajakku untuk ikut dalam pengajian di rumahnya.
Tak ada yang menyimpang dari pengajiannya, bahkan aku yakin banyak yang tidak tahu dengan penafsiran seperti halnya yang diterangkan oleh Heru. Bangsa ini sebenarnya masih berada dalam fase mekkah, tidak wajib untuk membayar zakat, tidak wajib untuk sholat karena menurut mereka ideologi yang kita agungkan bukannya ideologi Islami, Qur’an dan Sunnah melainkan Pancasila yang sebenarnya taghut. Diibaratkan kalau Pancasila itu seperti sesembahannya Bani Israil, yakni sapi betina. Bahkan ciri-cirinya sama persis antara Pancasila dan sapi betina tersebut.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 69:
”Mereka berkata, mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami apa warnanya. Musa menjawab sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang berwarna kuning, yang kuning tua, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya”.
Penjelasan sapi betina yang diterangkan Al-Qur’an persis seperti lambang negara kita yakni Pancasila, yang berlambang burung garuda. Bukankah burung garuda itu juga berwarna kuning tua atau kecoklatan. Selain itu Pancasila juga menyenangkan bagi orang yang memandangnya karena ideologinya merupakan kesepakatan oleh berbagai pihak. Penafsiran yang dangkal ini tidak aku sadari, perlahan-lahan pemahamanku mulai terbentuk, aku mulai menganggap pamahaman di luarku sebagai kafir dan patut ”diselamatkan”. Waktu itu aku merasa kasihan sebab selama ini mereka dibohongi oleh pemerintah untuk tidak berhukum pada Allah.
Aku mulai intens mengikuti pengajian itu selama beberapa bulan. Ujung-ujung dari pengajian itu, aku harus hijrah dari negara kafir menuju negara Islam sebagaimana metode yang dilakukan Rasulullah. Untuk hijrah ini aku harus menyerahkan jiwa dan raga, sebagaimana sahabat Rasulullah juga berkorban dengan harta mereka. Apalagi untuk menyelamatkan akidah ini, uang tabunganku tiga ratus ribu rupiah rela aku serahkan untuk membersihkan jiwaku dari pemerintahan taghut. Tiba waktunya aku diajak hijrah ke Jakarta dari stasiun kereta api Poncol ke Jatinegara, anehnya sesampai di sana untuk menuju markas jama’ah harus ditutupi dengan kain hitam dan naik mobil kijang. Aku sekilas jadi merasa ragu, jika memang tujuannya benar mengapa memakai cara yang rahasia segala?
Di markas bawah tanah NII, aku bersama beberapa pemuda-pemudi di bai’at untuk masuk dalam gerakan NII, jatidiriku didata, namaku disamarkan, seorang mentor sanggup mempengaruhi seorang remaja putri sampai menangis berurai air mata, akupun juga merasakan keharuan yang serupa, tetapi aku tak sempat menangis. Setelah keluar dari pembai’atan, aku resmi menjadi anggota NII, tetapi rupanya aku seringkali diperas, tiap bulan aku harus menyetor uang yang tidak sedikit untuk diserahkan kepada negara Islam Indonesia yang ternyata adalah Ma’had Al Zaytun, sebuah mega-pesantren se-Asia Tenggara yang berpusat di Hargeulis, Jawa Barat.
Inilah yang membuat aku tidak sreg lagi dan memutuskan untuk keluar, rupanya gerakan untuk membentuk negara Islam ini hanya sekedar kedok, karena menurut sepengetahuanku, uang yang mengalir milyaran itu hanya digunakan untuk kepentingan pribadi dari Panji Gumilang, pimpinan pesantren Al-Zaitun sekaligus presiden NII komando wilayah IX (menurut penuturan ustadz NII waktu itu). Akhirnya sedapat mungkin aku berusaha untuk keluar dari NII, setiap dapat telepon dari Heru, tak pernah aku jawab, sulit sekali keluar dari jeratan NII, baru beberapa bulan Heru tak pernah kontak dengan aku lagi, barulah aku menyadari kalau aku telah masuk ke dalam aliran sesat.
Eksploitasi Sejarah
Penyimpangan terbesar yang dilakukan oleh Abu Toto atau Panji Gumilang terletak pada penafsiran yang dangkal, ada upaya untuk mengeksploitasi sirah nabawiyah, menyamakan masa sekarang dengan fase Mekkah dan memaknai Pancasila sebagai taghut (berhala) adalah penafsiran yang teramat dangkal. Sedangkan Rasulullah diutus bukan untuk mendirikan negara Islam tetapi menerapkan syari’at Islam tidak perlu membentuk negara Islam.
Kemudian yang terpenting adalah Abu Toto, berani mengutak-atik aturan Allah yang sudah baku dan disesuaikan dengan seleranya. Ia berani mengubah syari’at zakat fitrah, dari 2,5kg menjadi 10kg, atau sebanyak-banyaknya. Selanjutnya Abu Toto mengatakan ” sangat rugi kiranya jika untuk membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) hanya dihargai oleh 2,5kg beras, karena dosa setahun tidak wajar jika dibersihkan dengan 2,5kg beras , dan sangat ironis jika hanya dengan 3,5 liter beras kita bercita-cita untuk mensejahterakan umat”.
Ngotak-atik Ibadah
Eksploitasi / pemerasan berdalih zakat, tazkiyatun nafs, shadaqah, infaq sabilillah, maupun kaffarat inilah yang menyokong sejumlah pembantu rumah tangga untuk mencuri perhiasan dari majikannya dengan dalih untuk pendirian negara Islam. Bahkan secara tidak sadar mereka terkena motif manipulasi yang sangat merugikan dan meresahkan umat dan merusak ajaran Islam. Dari pihak NII mengklaim sejak tahun 1993-2000 mempunyai anggota sebanyak 60.000 orang / sampai sekarang membengkak menjadi 100.000 orang. Dana dari umat yang disedot oleh NII diperkirakan (satu triliun empat ratus satu milyar dua ratus juta rupiah), sebagaimana yang ditulis oleh Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya Aliran Sesat di Indonesia, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk bangunan Al-Zaitun, yang konon mencapai empat triliun rupiah. Al-Zaitun dilengkapi dengan lapangan udara, danau buatan dan tentu saja bangunan super mewah.
Kesesatan di bidang akidah antara lain menganggap Indonesia sama dengan Makkah, shalat di sana sama dengan shalat di Mekkah pra kerasulan Muhammad, mereka mendasarkan pada ayat Al-Anfal ayat 35: ”Shalat mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanya siulan dan tepuk tangan, maka rasakanlah azab disebabkan oleh kekafiran itu”.
( Dikutip dari Majalah Furqon, edisi 31/ TH.V / Juni 2007)